Jumat, 01 Februari 2013

Membaca Gejal dari Jelaga

Membaca Gejala dari Jelaga











Matahari terlalu pagi mengkhianati
Pena terlalu cepat terbakar
Kemungkinan terbesar sekarang, memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan
Sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satupun sudut kemungkinan untuk kemungkinan untuk berkata tidak mungkin
Tanpa darah mereka mengering
Sebelum mata pena berkarat dan menolak kembali terisi

Sebelum semua paru disesaki tragedi dan pengulangan menemukan maknanya sendiri dalam pasar dan semerbak deodoran
Atau mungkin dalam limbah dan kotoran
Atau mungkin dalam seragam sederetan nisan

Kita pernah bernazar
Untuk menantang awan
Menantang langit dengan kalam-kalam terhunus
Hingga hari-hari penghabisan
Tanpa pretense apapun untuk mengharapkan surga dan neraka
Di atas semua…

Kita berangkat dengan rima dan kopi secawan
Berkawan dengan bentangan kalam yang menantang awan
Kita menggalang pijakan dari hulu waktu yang membidani zaman
Dimana microphone digenggam dengan hasrat menggantang ancaman
Mengkafani kawanan serupa lalat dari pusat pembuangan sampah
Menyisakan potongan kalimat profane berceceran
Bernazar membuat tiran berjatuhan dengan luka sayat dari medan puputan
Kita tantang kutukan, kita kutuk pantangan
Sehingga setiap angan paralel dengan surga-neraka dan dalil langitan
Serupa komando yang keluar dari mabes hingga koramil
Serupa toxin yang berselancar pada darah sebelum maut menjemput Munir
Menyisir petaka yang membiarkan mereka menggadaikan pasir
Pada pantai, pada bumi, yang penuhi oleh barcode dan kasir
Yang menghibahkan filsafat pada vampire
Pada mereka yang melabeli setiap oponen dengan stempel kafir
Pada mereka yang datang pada malam terkelam
Saat cahaya hanya datang dari belukar di tengah makam
Kita pernah sisakan harapan yang esok siap cor menjadi belati
Pikulan beban yang serupa pitam yang kembali berhitung dengan mentari

Dengan tangisan bayi yang mengajarkan kembali bagaimana menari
Bagaimana mengingat janji dan mengepalkan jemari
Bagaimana seharusnya hari-hari berbagi api
Bagaimana menyulutnya pada nadi dan mengumpulkan nyali
Dan semua darah bertagih telah kita bayar lunas
Sejak kalimat angkara kita terlanjur menjadi lampiran kajian Lemhanas
Kau dan aku tahu pahlawan tidak lagi datang dari kurusetra
Namun dalam bentuk dominasi mie instant di tengah bencana
Sejak tanah basah ini menagih janji mata yang dibayar mata
Sejak mata sungai menagih suara mereka yang hilang di ujung desa
Sejak kebebasan hanya berarti di hadapan kotak suara
Sejak para ekonom memperlakukan nasib serupa statistik ramalan cuaca
Telah khatam kita baca semua analisa semua neraca
Semua melihat tai kucing yang membenarkan semua prasangka
Kita belajar membaca gejala dari jelaga
Pada malam-malam terhunus dan waras-waras kita terjaga
Memaksa tidur dengan satu kelopak mata terbuka
Menahan pitam tanpa riak serupa telaga
Serupa hasrat yang dipertahankan setengah mati tetap menyala
Pada setengah hidup kita mengalir mencari muara
Serupa udara
Membutuhkan amis darah agar sirine tetap mengalun
Agar waras diingatkan wabah yang akut menahun
Tentang pagut yang santun
Yang memusuhi pantun
Yang membakar habis hasratmu setelah dipaksa dipasung
Mungkin kau akan ingat tentang petaka yang dalam hitungan kurun
Waktu singkat berubah menjadi rahmat
Merubah alam alam bawah sadar hingga terbiasa dengan mayat
Sekarang mengubahmu kasat di depan deretan kalimat
Bergabung dengan para mata yang terang bersama pekat

Serupa kepastian, serupa asuransi
Serupa janji yang memprediksi dimana kau suatu hari nanti dengan pasti
Sehingga semua pertanyaan kau tinggal mati
Sehingga rimaku hari ini dan terompet israfil dapat bertukar posisi
Dan menantang mentari

  • Membaca Gejala Dari Jelaga


    Matahari terlalu pagi mengkhianati
    Pena terlalu cepat terbakar
    Kemungkinan terbesar sekarang, memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan
    Sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satupun sudut kemungkinan untuk kemungkinan untuk berkata tidak mungkin
    Tanpa darah mereka mengering
    Sebelum mata pena berkarat dan menolak kembali terisi

    Sebelum semua paru disesaki tragedi dan pengulangan menemukan maknanya sendiri dalam pasar dan semerbak deodoran
    Atau mungkin dalam limbah dan kotoran
    Atau mungkin dalam seragam sederetan nisan

    Kita pernah bernazar
    Untuk menantang awan
    Menantang langit dengan kalam-kalam terhunus
    Hingga hari-hari penghabisan
    Tanpa pretense apapun untuk mengharapkan surga dan neraka
    Di atas semua…

    Kita berangkat dengan rima dan kopi secawan
    Berkawan dengan bentangan kalam yang menantang awan
    Kita menggalang pijakan dari hulu waktu yang membidani zaman
    Dimana microphone digenggam dengan hasrat menggantang ancaman
    Mengkafani kawanan serupa lalat dari pusat pembuangan sampah
    Menyisakan potongan kalimat profane berceceran
    Bernazar membuat tiran berjatuhan dengan luka sayat dari medan puputan
    Kita tantang kutukan, kita kutuk pantangan
    Sehingga setiap angan paralel dengan surga-neraka dan dalil langitan
    Serupa komando yang keluar dari mabes hingga koramil
    Serupa toxin yang berselancar pada darah sebelum maut menjemput Munir
    Menyisir petaka yang membiarkan mereka menggadaikan pasir
    Pada pantai, pada bumi, yang penuhi oleh barcode dan kasir
    Yang menghibahkan filsafat pada vampire
    Pada mereka yang melabeli setiap oponen dengan stempel kafir
    Pada mereka yang datang pada malam terkelam
    Saat cahaya hanya datang dari belukar di tengah makam
    Kita pernah sisakan harapan yang esok siap cor menjadi belati
    Pikulan beban yang serupa pitam yang kembali berhitung dengan mentari

    Dengan tangisan bayi yang mengajarkan kembali bagaimana menari
    Bagaimana mengingat janji dan mengepalkan jemari
    Bagaimana seharusnya hari-hari berbagi api
    Bagaimana menyulutnya pada nadi dan mengumpulkan nyali
    Dan semua darah bertagih telah kita bayar lunas
    Sejak kalimat angkara kita terlanjur menjadi lampiran kajian Lemhanas
    Kau dan aku tahu pahlawan tidak lagi datang dari kurusetra
    Namun dalam bentuk dominasi mie instant di tengah bencana
    Sejak tanah basah ini menagih janji mata yang dibayar mata
    Sejak mata sungai menagih suara mereka yang hilang di ujung desa
    Sejak kebebasan hanya berarti di hadapan kotak suara
    Sejak para ekonom memperlakukan nasib serupa statistik ramalan cuaca
    Telah khatam kita baca semua analisa semua neraca
    Semua melihat tai kucing yang membenarkan semua prasangka
    Kita belajar membaca gejala dari jelaga
    Pada malam-malam terhunus dan waras-waras kita terjaga
    Memaksa tidur dengan satu kelopak mata terbuka
    Menahan pitam tanpa riak serupa telaga
    Serupa hasrat yang dipertahankan setengah mati tetap menyala
    Pada setengah hidup kita mengalir mencari muara
    Serupa udara
    Membutuhkan amis darah agar sirine tetap mengalun
    Agar waras diingatkan wabah yang akut menahun
    Tentang pagut yang santun
    Yang memusuhi pantun
    Yang membakar habis hasratmu setelah dipaksa dipasung
    Mungkin kau akan ingat tentang petaka yang dalam hitungan kurun
    Waktu singkat berubah menjadi rahmat
    Merubah alam alam bawah sadar hingga terbiasa dengan mayat
    Sekarang mengubahmu kasat di depan deretan kalimat
    Bergabung dengan para mata yang terang bersama pekat

    Serupa kepastian, serupa asuransi
    Serupa janji yang memprediksi dimana kau suatu hari nanti dengan pasti
    Sehingga semua pertanyaan kau tinggal mati
    Sehingga rimaku hari ini dan terompet israfil dapat bertukar posisi
    Dan menantang mentari

http://musiklib.org/Homicide-Membaca_Gejala_Dari_Jelaga-Lirik_Lagu.htmMatahari terlalu pagi mengkhianati
Pena terlalu cepat terbakar
Kemungkinan terbesar sekarang, memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan
Sehingga setiap orang yang kami temui tak menemukan lagi satupun sudut kemungkinan untuk kemungkinan untuk berkata tidak mungkin
Tanpa darah mereka mengering
Sebelum mata pena berkarat dan menolak kembali terisi

Sebelum semua paru disesaki tragedi dan pengulangan menemukan maknanya sendiri dalam pasar dan semerbak deodoran
Atau mungkin dalam limbah dan kotoran
Atau mungkin dalam seragam sederetan nisan

Kita pernah bernazar
Untuk menantang awan
Menantang langit dengan kalam-kalam terhunus
Hingga hari-hari penghabisan
Tanpa pretense apapun untuk mengharapkan surga dan neraka
Di atas semua…

Kita berangkat dengan rima dan kopi secawan
Berkawan dengan bentangan kalam yang menantang awan
Kita menggalang pijakan dari hulu waktu yang membidani zaman
Dimana microphone digenggam dengan hasrat menggantang ancaman
Mengkafani kawanan serupa lalat dari pusat pembuangan sampah
Menyisakan potongan kalimat profane berceceran
Bernazar membuat tiran berjatuhan dengan luka sayat dari medan puputan
Kita tantang kutukan, kita kutuk pantangan
Sehingga setiap angan paralel dengan surga-neraka dan dalil langitan
Serupa komando yang keluar dari mabes hingga koramil
Serupa toxin yang berselancar pada darah sebelum maut menjemput Munir
Menyisir petaka yang membiarkan mereka menggadaikan pasir
Pada pantai, pada bumi, yang penuhi oleh barcode dan kasir
Yang menghibahkan filsafat pada vampire
Pada mereka yang melabeli setiap oponen dengan stempel kafir
Pada mereka yang datang pada malam terkelam
Saat cahaya hanya datang dari belukar di tengah makam
Kita pernah sisakan harapan yang esok siap cor menjadi belati
Pikulan beban yang serupa pitam yang kembali berhitung dengan mentari

Dengan tangisan bayi yang mengajarkan kembali bagaimana menari
Bagaimana mengingat janji dan mengepalkan jemari
Bagaimana seharusnya hari-hari berbagi api
Bagaimana menyulutnya pada nadi dan mengumpulkan nyali
Dan semua darah bertagih telah kita bayar lunas
Sejak kalimat angkara kita terlanjur menjadi lampiran kajian Lemhanas
Kau dan aku tahu pahlawan tidak lagi datang dari kurusetra
Namun dalam bentuk dominasi mie instant di tengah bencana
Sejak tanah basah ini menagih janji mata yang dibayar mata
Sejak mata sungai menagih suara mereka yang hilang di ujung desa
Sejak kebebasan hanya berarti di hadapan kotak suara
Sejak para ekonom memperlakukan nasib serupa statistik ramalan cuaca
Telah khatam kita baca semua analisa semua neraca
Semua melihat tai kucing yang membenarkan semua prasangka
Kita belajar membaca gejala dari jelaga
Pada malam-malam terhunus dan waras-waras kita terjaga
Memaksa tidur dengan satu kelopak mata terbuka
Menahan pitam tanpa riak serupa telaga
Serupa hasrat yang dipertahankan setengah mati tetap menyala
Pada setengah hidup kita mengalir mencari muara
Serupa udara
Membutuhkan amis darah agar sirine tetap mengalun
Agar waras diingatkan wabah yang akut menahun
Tentang pagut yang santun
Yang memusuhi pantun
Yang membakar habis hasratmu setelah dipaksa dipasung
Mungkin kau akan ingat tentang petaka yang dalam hitungan kurun
Waktu singkat berubah menjadi rahmat
Merubah alam alam bawah sadar hingga terbiasa dengan mayat
Sekarang mengubahmu kasat di depan deretan kalimat
Bergabung dengan para mata yang terang bersama pekat

Serupa kepastian, serupa asuransi
Serupa janji yang memprediksi dimana kau suatu hari nanti dengan pasti
Sehingga semua pertanyaan kau tinggal mati
Sehingga rimaku hari ini dan terompet israfil dapat bertukar posisi
Dan menantang mentari

1 komentar: